Minggu, 04 April 2010

Dalalah Ibarah dan Dalalah Isyarah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Di dalam mempelajari ilmu ushul fiqh nash syara’ atau undang-undang harus dilaksanakan sesuai dengan pemahaman dari ungkapan, isyarat, dalalah (petunjuk) atau tuntutannya. Karena sesuatu yang dipahami dari nash dengan salah satu diantara empat cara tersebut adalah pengertian nash. Namun di sini akan di bahas hanya dua cara saja, yaitu ungkapan dan isyarat saja.
Arti global dari kaedah ini adalah bahwa nash syara’ atau undang-undang kadang-kadang mempunyai pengertian yang berbeda-berbeda, karena cara pengambilan makna yang berbeda. Pengertiannya tidak hanya dipahami dari ungkapandan hurufnya saja, bahkan ia sendiri juga mungkin menunjukkan beberapa makna yang diambil dari isyarat.
Setiap pengertian yang diambil dengan cara tersebut adalah merupakan makna nash, sedangkan nash itu adalah dalil dan argumen dari makna itu. Makna itu harus dilaksanakan, karena seorang mukallaf dengan nash undang-undang dituntut untuk melaksanakan sesuatau yang ditunjuk oleh nash dengan berbagai cara mengambil maknayang ditetapkan dari aspek bahasa.
Bila ia telah melaksanakan makna nash itu menurut suatu cara pengambilan makna tetapi ia mengabaikan makna lain yang menggunakan cara pengambilan yang lain, maka ia berarti menyia-nyiakan nash dari sebagian sisi. Oleh karena itu para ulama ushul berkata : wajib melaksanakan makna yang ditunjukkan oleh ungkapan, jiwa dan rasionalitas nash.
Sedangkan arti kaedah itu secara rinci adalah menjelaskan maksud dari masing-masing teori pengambilan makna yang empat dengan contoh dari nash undang-undang syara’. Namun pemakalah hanya memberikan penjelasan dari dua sisi saja, yaitu dari segi ibarah dan isyarat nya.








BAB II
PEMBAHASAN
A. Dalalah Ibarah
Dalalah ibarah atau yang sering disebut dengan ibarah nash adalah bentuk kalimat yang tersusun dari kosa kata dan susunan kalimat. Yang dimaksud dari pemahaman ibarah nash adalah arti yang langsung dapat dipahami dari bentuknya, dan itukah maksud dari redaksi nash tersebut. Jika makna itu jelas dapat dipahami dari bentuk nash, sedangkan nash itu disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka makna itu adalah madlul (yang ditunjukkan) oleh ibarah nash, dan disebut juga makna harfiyah (menurut kata-kata) nash. Jadi dapat disimpulkan bahwa ibarah nash itu adalah petunjuk dari bentuk kata yang langsung dapay dipahami makna yang dimaksudkan dari redaksi itu, baik redaksi itu menurut aslinya maupun konsekuensinya.
Menurut Abu Zahrah dalalah ibarah itu adalah majna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz baik dalam bentuk nash maupun zhahir. Sedangkan menurut penulis kitab At-Tahrir memberikan defenisi dalalah ibarah itu adalah penunjukan lafaz atau makna dalam keadaan sesuai dengan yang dimaksud secara asli, meskipun dalam bentuk lazim, lafaz jenis inilah yang diperhitungkan oleh ulama ushul dalam nash atau bukan dalam bentuk asli.
Sebagai contoh dalalah ibarah misalnya firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 3, yang berbunyi:


Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja. (Q.S An-Nisa’:3)
Dengan memperhatikan ibarah nash (apa yang tersurat dalam nash) tersebut dapat diperoleh 3 pengertian, yaitua:
1. Diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangi
2. Membatasi jumlah istri sampai 4 orang saja
3. Wajib hanya mengawini seorang saja jika dikawatirkan berbuat khianat lantaran mengawini wanita banyak.
Semua pengertian tersebut situnjuk oleh lafazh nash secara jelas dan seluruh pengertian dimaksudkan oleh siyaqul kalam. Akan tetapi pengertian yang pertama bukan merupakan maksud yang asli. Sebab ayat tesebut dikemukakan kepada orang-orang yang kawatir berkhianat terhadap hak milik wanita-wanita yatim, sehingga harus dialihkan dari beristri yang tiada terbatas kepada dua, tiga atau empat orang saja. Inilah maksud yang aslidari siyaqul kalam, kemudian maksud yang tidak asli ialah tentang bolehnya mengawini wanita yang disenangi.
Contoh masalah ini tidak terbatas jumlahnya, karena setiap nash undang-undang dibentuk oleh pembuatnya untujk hukum tertentu. Untuk itu disusunlah kata-kata dan ungkapan untuk menunjukkan arti yang jelas pada hukum tersebut. Semua nash undang-undang baik syar’i maupun wadh’i memiliki makna yang ditunjukkan oleh ungkapannya. Kadang-kadang sejalan dengan makna itu dan makna lain yang ditunjukkan oleh nash dan ungkapannya. Tetapi kami hanya sekedar menyebutkan sebagian contoh yang dapat menjelaskan perbedaan antara maksud asli dan dari redaksi nash dan maksud konsekuensinya.
Allah SWT bersabda:

Artinya: Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah:275)
Bentuk nash ini menunjukkan dalalah yang jelas kepada dua maknayang masing-masing merupakan maksud dari redaksinya. Pertama, bahwa jual beli tidak seperti riba, kedua, hukum jual beli adalah halal sedangkan riba adalah haram. Keduanya merupakan makna yang dipahami dari ungkapan nash dan tujuan dari redaksi nash. Hanya saja makna yang pertama adalah maksud asli dari redaksi, karena ayat itu disusun muntuk membantah orang-orang yng mengtakan: Sesungguhnya jual beli adalah seperti riba.
Sedangkan makna yang kedua adalah maksud dari konsekuensi dari redaksi, karena menghilangakan kesamaan adalah menjelaskan kedua hukum jual beli dan riba sampai ditemukan perbedaan hukum bahwa keduanya tidak sama. Seandainya orang meringkas arti yang dimaksud dari redaksi asal nash itu, dia akan berkata: Tidaklah jual beli itu seperti riba.
B. Dalalah Isyarah
Menurut Abu Zahrah yang dimaksud dengan dalalah isyarah ataupun isyarah nash itu adalah apa yang ditunjuk oleh lafaz tidak melalui ibaratnya. Sedangkan menurut para ulama Hanafiyah isyarah nash adalah lafaz yang dilalahnya terhadap sesuatu tidak dimaksud untuk itu menurut asalnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalalah isyarah atau juga yang disebut dengan isyarah nash adalah merupakan pemahaman makna yang tidak secara langsung dapat dipahami dari kata-kata dan bukan maksud dari susunan katanya, melainkan makna lazimyang sejalan dengan makna yang langsung dari kata-katanya. Itulah makna dengan jalan ketetapan. Karena ia merupakan makna ketetapan dan bukan makna yang dimaksud dari sumber kata, maka petunjuk nashnya dengan isyarat dan bukan dengan ibarat.
Bentuk ketetapan itu kadang-kadang nyata dan kadang-kadang samar. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa sesuatu yang diisyaratkan oleh nash kadang-kadang memerlukan penelitian yang mendalam dan pemikiran yang sungguh-sungguh, dan kadang-kadang hanya dengan pemikiran yang sekedarnya. Jadi petunjuk isyarat adalah petunjuk nash tentang makna lazim bagi sesuatu yang dipahami dari ungkapan nash yang bukan dimaksud dari susunan katanya yang memerlukan pemikiran yang mendalam atau sekedarnya tergantung bentuk ketetapan itu nyata atau samar.
Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:

Artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf. (Q.S Al-Baqarah: 233)
Dari nash ini dapat dipahami bahwa nafkah yang berupa makanan dan pakaian para ibu adalah kewajiban para bapak. Karena makna inilah yang dapat dipahami secara langsung dari nash dan yang dimaksud dengan kata-katanya. Dari isyarah nash dapat dipahami bahwa para bapak tidak bersama dengan yang lain dalam kewajiban memberi nafkah kepada anaknya, karena anak itu adalah miliknya bukan milik orang lain. Jika ayah suku Quraisy sedang ibu bukan suku Quraisy, maka anak itu ikut kepada ayahnya yaitu suku Quraisy karena ia adalah anaknya, bukan anak orang lain.
Seorang ayah ketika membutuhkan sesuatu milik anaknya ia berhak mengambil barang itu tanpa pengganti sekedar menutupi kebutuhannya. Karena anaknya adalah miliknya dan harta anaknya adalah miliknya juga. Hukum-hukum ini dipahami dari isyarah nash. Karena pada kata-kata nash terdapat penghubungan antara anak dengan ayahnya yang menggunakan huruf laam (la) yang bermakna khusus, kekhususan inilah yang diungkapkan dalam hadits Nabi SAW:

Artinya: Engkau dan harta milikmu adalah untuk bapakmu
Dari kekhususan ini maka muncul hukum-hukum tersebut, yaitu hukum sejalan dengan makna yang dipahami dari ungkapan nash dan bukan maksud dari susunan katanya. Jadi pemahaman itu dari isyarah nash bukan dari ibarah nash.
Adapun contoh yang lain yaitu firman Allah SWT. Yang menjelaskan orang-orang yang mendapatkan bagian dari harta yang diperoleh orang islam dari orang non muslim tanpa peperangan, seperti harta perdamaian dan pajak yang berbunyi:



Artinya: Orang-orang yang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhoan-Nya. (Q.S Al-Hasyr:8)
Dari ungkapan nash ini dapat difahami hak bagian harta fai’ bagi orang-orang fakir yang hijrah. Dan dari isyarah nash bahwa harta orang-orang yang hijrah itu hilang kepemilikannya, yakni harta yang mereka tinggalkan ketika keluar dari rumahnya. Karena nash mengungkapkan tentang mereka dengan lafal fuqara’ dan memberi sifat bahwa mereka itu fakir berarti menetapkan bahwa harta mereka tidak tetap menjadi pemiliknya. Ini adalah hukum lazim bagi makna kata-kata nash tetapi bukan maksud dari susunan katanya.
Dari contoh lain juga dapat dilihat, misalnya firman Allah SWT:

Artinya: Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Q.S Ali Imran:159)
Dengan cara isyarat, dari nash itu dapat dipahami kewajiban mewujudkan sekelompok orang yang menjadi teladan umat dan untuk diajak musyawarah dalam urusan umat. Karena memecahkan masalah dan musyawarah umat adalah makna yang sejalan dengan nash.
Contoh lain, yaitu firman Allah SWT:


Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya. (Q.S An-Nahl: 43)
Dengan cara dari isyarat dari nash itu dapat dipahami kewajiban mewujudkan ahli zikir (kelompok ilmuwan) dalam umat.
Contoh dari undang-undang hukum pidana, yaitu pasal 274: “Perempuan bersuami yang terbukti berzina maka dihukum penjara tidak lebih dari dua tahun, tetapi suaminya berhak menangguhkan hukuman karena kerelaannya untuk menggaulinya”
Ungkapan pasalm ini menunjukkan tindak pidana istri yang terbukti berzina, dan suami yang sah berhak untuk menghentikan hukuman ini. Dengan cara isyarat yang ditunjukkan bahwa zina seorang istri bukan kriminal atas masyarakat menurut pandangan pembuat undang-undang Mesir, tetapi kriminal atas suaminya. Maka ini sejalan dengan penetapan hak bagi suami untuk menggugurkan hukuman istri. Karena jika kriminal terhadap masyarakat seperti mencuri, maka tidak berhak bagi siapa pun untuk menggugurkan hukumannya.
Contoh dari undang-undang perdata yang dihapus, yaitu pasal 155: “ Wajib bagi anak dan pasangan mereka selama masih ada ikatan suami istri untuk memberi nafkah kepada orang tua serta pasangannya”.
Dari pasal di atas trsebut dapat dipahami bahwa hukum buatan yang berkenaan dengan nafkah. Secara isyarat dipahami pula kekhususan pengadilan negeri untuk memutuskan perkara dengan materi tersebut. Karena dari materi tersebut menurut aturannya wajib diterapkan oleh pengadilan. Kekhususan ini adalah makna yang pasti karena terdapat pada materi-materi undang-undang dan bukan maksud dari susunan katanya, ia bisa dipahami dengan caara isyarat.
Banyak nash undang-undang buatan yang ungkapannya menunjukkan hukum juga memberi isyarat kepada hukum. Inilah yang oleh para ahli hukum dikatakan: “Nash itu jelas menunjukkan begini, dan dari nash itu diambil hukum dengan isyarat begini”.
Dalam pengambilan dalil harus dibantu dengan cara isyarat dan meringkasnya sesuai dengan makna nash yang tidak dapat dilepaskan. Karena makna inilah yang ditunjuk oleh nash. Sebab sesuatu yang menunjukkan pada yang menetapakannya. Sedangkan memahami nash dengan makna jauh yang tidak sejalan dengan maknanya yang diduga secara isyarat adalah berlebih-lebihan dalam memahami nash, dan itu bukan yang dimaksud dengan petunjuk nash.
Misalnya firman Allah SWT:


Artinya: Tidak ada dosa atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. (Al-Baqarah: 236)
Arti yang lazim dari nash itu adalah sahnya mengadakan aqad perkawinan tanpa menentukan maharnya terlebih dahulu. Karena talak itu tidak akan terjadi sebelum adanya akad nikah yang shahih. Maka makna yang lazim inilah yang menjadi dalalah isyarat.

BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dalalah ibarat yang sering juga disebut dengan ibarat nash adalah p[enunjukan lafaz kepada makna yang langsung dapat dipahami dan makna itu memang dikehendaki oleh siyaqul kalam (rangkaian pembicaraan), baik maksud itu asli maupun tidak, maksudnya baik maksud utama dari nash itu maupun maksud kedu dari nash itu sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan dalalah isyarat atau yang sering disebut dengan isyarat nash adalah penunjukan suatu lafaz kepada makna yang tidak langsung dapat dipahami, akan tetapi makna itu tidak dapat dipisahkan dari makna yang dimaksudkan, baaik menurut rasio maupun menurut adat kebiasaan dan baik makna itu jelas maupun samar-samar. Dengan kata lain dapat dikatan bahwa dalalah isyarat itu adalah dalalah lafa kepada makna iltizami (makna yang tidak dapat dipisahkan) yang tidak dimaksudkan menurut siyaqul kalam.